Ketika Kontrol Internal Jadi "Tembok Besar": Mengapa Banyak Organisasi Tumbuh Lambat Karena Terlalu Sibuk Mengunci Pintu

Di banyak organisasi Indonesia hari ini, kontrol internal telah menjelma bukan lagi sebagai sistem perlindungan, melainkan sebagai tembok besar yang justru menghalangi kecepatan, kreativitas, dan pertumbuhan bisnis. Kita menyaksikan organisasi yang begitu bangga dengan SOP yang tebalnya melebihi skripsi, formulir otorisasi yang butuh lebih banyak tanda tangan daripada surat presiden, dan audit internal yang dilakukan dengan semangat seperti penyidikan pidana. Pertanyaannya: apakah bisnisnya makin sehat? Atau justru makin stagnan?

Paradoks "Semakin Ketat, Semakin Lambat"

Dalam studi berjudul "Going Too Far Is as Bad as Not Going Far Enough" ditemukan hubungan berbentuk U-terbalik antara kualitas kontrol internal dan efisiensi operasional perusahaan. Singkatnya, semakin ketat kontrol internal diterapkan, produktivitas memang naik… sampai titik tertentu. Setelah itu? Justru menurun. Mengapa?

Karena kontrol yang berlebihan:

  • Mengalihkan fokus manajemen dari strategi ke urusan administratif

  • Membunuh semangat berinovasi karena takut “salah prosedur”

  • Mengikis kepercayaan karyawan yang diperlakukan seperti tersangka, bukan profesional

Sindiran dari Matthew Leitch: Kontrol yang Cerdas, Bukan Kontrol yang Melelahkan

Matthew Leitch dalam bukunya Intelligent Internal Control and Risk Management sudah memperingatkan sejak awal: kontrol internal seharusnya membantu, bukan menghambat. Ia menekankan bahwa sistem kontrol yang terlalu banyak, terlalu rumit, atau terlalu memberatkan justru akan menciptakan “ilusi keamanan” yang mahal dan tidak efektif.

Leitch mengajak organisasi untuk menggunakan kontrol yang cerdas, bukan sekadar “lengkap” atau “berlapis-lapis.” Apa itu kontrol cerdas? Yakni kontrol yang:

  • Dibangun berdasarkan risiko nyata, bukan ketakutan imajiner

  • Adaptif terhadap dinamika bisnis, bukan statis seperti papan pengumuman

  • Mendukung keputusan cepat, bukan memperlambatnya

Realitas di Lapangan: Birokrasi vs Pertumbuhan

Mari kita ambil contoh. Ada perusahaan swasta nasional yang dalam proses pengadaan satu vendor  harus melewati meja, dokumen, dan revisi yang sangat banyak. Waktu yang dihabiskan bisa mencapai 3 bulan atau lebih. Biaya administrasi internal tidak dihitung, karena dianggap "prosedural." Sementara pesaing mereka menyelesaikan negosiasi dan eksekusi dalam waktu 2 minggu. Siapa yang tumbuh lebih cepat?

Lebih parah lagi, ada organisasi yang takut membuat keputusan cepat karena “takut audit.” Padahal, seperti yang dikatakan Leitch, kontrol seharusnya mendukung pengambilan keputusan, bukan membuat semua orang jadi ragu untuk bertindak.

Sebuah Catatan Pedas (Tapi Perlu):

Kalau Anda masih percaya bahwa semakin banyak formulir, maka semakin aman organisasi Anda—maka selamat, Anda sedang membangun museum prosedur, bukan perusahaan masa depan.

Kurangi Ketakutan, Bangun Kepercayaan

Kontrol internal bukan untuk membatasi gerak, tapi untuk memberi arah. Kita tidak butuh lebih banyak penjaga pintu—kita butuh jalan yang lebih jelas untuk berjalan. Organisasi yang sehat bukan yang tak pernah salah, tapi yang mampu belajar cepat, menyesuaikan diri, dan mengambil risiko dengan sadar. Kontrol yang cerdas adalah yang melindungi sambil tetap memberi ruang untuk maju.

Saatnya berhenti menyamakan kepatuhan dengan kemajuan. Karena pertumbuhan tak akan datang dari organisasi yang terlalu sibuk mengunci semua pintu, tapi lupa membuka jendela untuk masa depan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketika Pengawasan Membunuh Inisiatif: Menelisik Kelambanan Keputusan dalam Organisasi Yayasan

Ketika Nilai Kesopanan Hanya Jadi Slogan: Mengurai Fenomena Pimpinan Kasar di Organisasi