Ketika Pengawasan Membunuh Inisiatif: Menelisik Kelambanan Keputusan dalam Organisasi Yayasan

Di tengah tuntutan dunia yang serba cepat dan kompetitif, organisasi berbadan hukum yayasan di Indonesia masih menghadapi persoalan klasik: pengambilan keputusan yang lamban dan tidak adaptif. Tak sedikit pelaksana di level operasional merasa seperti ‘perpanjangan tangan’ pengurus, bukan sebagai pengambil keputusan strategis harian. Mengapa fenomena ini terus terjadi dan bagaimana seharusnya organisasi merespons?

Yayasan: Idealitas dan Realitas

Secara normatif, menurut Undang-Undang No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, struktur pengelolaan yayasan terdiri dari tiga organ: Pembina, Pengurus, dan Pengawas. Pembina bertindak sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, pengurus menjalankan operasional, dan pengawas melakukan pengawasan. Namun, dalam praktiknya, fungsi ini sering tidak dijalankan secara efektif. Pengurus acap kali mengambil peran terlalu dominan—hingga ke hal-hal teknis operasional—sehingga menggerus peran pelaksana yang seharusnya lebih dinamis.

Pelaksana (biasanya direktur unit usaha di bawah yayasan) tidak jarang mengalami stagnasi keputusan karena harus menunggu restu dari pengurus dalam hal yang seharusnya bisa diputuskan cepat. Bahkan untuk isu-isu kecil seperti revisi program promosi atau pengadaan vendor pelatihan, proses bisa berlarut-larut karena takut menyalahi “otoritas pengurus”. Ketakutan ini memperlambat organisasi—dan lebih buruknya lagi, membunuh inisiatif.

Perspektif Matthew Leitch: Kontrol yang Mencerahkan, Bukan Menekan

Dalam buku Intelligent Internal Control and Risk Management, Matthew Leitch menyindir sistem kontrol yang terlalu birokratis dan mengekang:

"Too much top-down control can undermine initiative and responsiveness – two essential factors for effective risk management and operational success."

Leitch menegaskan bahwa kontrol internal yang cerdas bukan berarti setiap hal harus diotorisasi oleh pucuk pimpinan. Sebaliknya, kontrol yang sehat justru memberi ruang bagi pengambil keputusan operasional untuk bertindak, selama dalam koridor risiko yang terkendali.

Di banyak yayasan di Indonesia, prinsip ini belum diterapkan. Kontrol dijalankan dengan paradigma “menjaga kekuasaan” alih-alih “memberdayakan”. Hal ini menyebabkan banyak pelaksana kehilangan sense of ownership, menjadi pasif, dan enggan mengambil risiko yang sehat untuk pertumbuhan organisasi.

Data Lapangan Mendukung

Dalam laporan "Kajian Ekosistem Filantropi di Indonesia" yang disusun oleh Perhimpunan Filantropi Indonesia (2020), disebutkan bahwa:

  • 70% organisasi filantropi di Indonesia masih menerapkan struktur pengambilan keputusan yang sangat terpusat.

  • Lebih dari 60% tidak memiliki kebijakan delegasi wewenang secara formal untuk operasional harian.

  • Sebanyak 55% pelaksana program merasa kurang diberdayakan dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan strategis.

Temuan serupa juga disampaikan oleh CFPS Universitas Indonesia dalam laporan "Tantangan Profesionalisasi Organisasi Nirlaba di Indonesia" (2021), yang menyebutkan bahwa pelaksana yayasan seringkali terhambat oleh ketidaktegasan pembagian peran antara pengurus dan pelaksana.

Solusi: Menuju Kontrol Internal yang Mencerahkan

Berdasarkan pemikiran Matthew Leitch dan realita yayasan di Indonesia, berikut adalah beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan untuk mendorong kelincahan keputusan tanpa kehilangan akuntabilitas:

  1. Pisahkan Fungsi Strategis dan Operasional Secara Tegas
    Pengurus cukup menetapkan arah kebijakan dan evaluasi periodik, bukan terlibat dalam keputusan operasional harian.

  2. Bangun Kontrak Kinerja & Delegasi Wewenang
    Pelaksana perlu diberi ruang dengan KPI dan batas risiko yang jelas. Buat delegation of authority matrix sebagai pedoman.

  3. Desain Mekanisme Pengawasan yang Mendorong, Bukan Menghambat
    Audit dan review berkala jauh lebih efektif ketimbang kontrol mikro dalam mencegah deviasi dan menjaga kecepatan eksekusi.

  4. Ubah Mindset dari 'Kontrol = Kekuasaan' ke 'Kontrol = Kejelasan Risiko'
    Sehingga setiap pihak dalam organisasi dapat mengambil keputusan dengan penuh tanggung jawab, bukan penuh ketakutan.

Yayasan yang ingin bertahan dan tumbuh di era persaingan terbuka wajib mengubah cara berpikirnya soal kontrol dan pengambilan keputusan. Menjadi berhati-hati bukan berarti harus selalu lambat. Dan menjadi akuntabel tidak berarti harus menunggu izin untuk setiap langkah. Seperti kata Matthew Leitch:

"Intelligent control is about understanding risks and enabling action – not stifling it."

Sudah waktunya yayasan di Indonesia menerapkan kontrol internal yang mencerahkan, bukan menyesakkan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketika Kontrol Internal Jadi "Tembok Besar": Mengapa Banyak Organisasi Tumbuh Lambat Karena Terlalu Sibuk Mengunci Pintu

Ketika Nilai Kesopanan Hanya Jadi Slogan: Mengurai Fenomena Pimpinan Kasar di Organisasi