Ketika Nilai Kesopanan Hanya Jadi Slogan: Mengurai Fenomena Pimpinan Kasar di Organisasi
Di banyak organisasi di Indonesia, nilai kesopanan selalu dijadikan pilar budaya. Dalam dokumen visi-misi, code of conduct, hingga pidato pimpinan, kata-kata seperti "saling menghormati", "komunikasi santun", dan "budaya luhur" begitu sering terdengar. Namun, ironisnya, di balik tembok ruang rapat, realitas yang dijumpai bawahan justru sebaliknya: pimpinan yang marah-marah, berkata kasar, merendahkan, bahkan mempermalukan orang secara terbuka.
Fenomena ini bukan sekadar soal "gaya komunikasi". Ini adalah bentuk nyata dari kontradiksi antara nilai yang diusung organisasi dengan perilaku elitnya. dalam bukunya The No Asshole Rule. Sutton tidak sekadar membuat argumen moral bahwa perilaku kasar itu salah, tetapi ia membawa data, studi kasus nyata, dan logika bisnis yang kuat: membiarkan "assholes" berkuasa dalam organisasi itu merugikan dari segala sisi—moral, psikologis, maupun finansial. Ia mencatat bagaimana satu pimpinan toksik dapat memicu turnover tinggi, menurunkan produktivitas, menciptakan konflik internal, bahkan menyebabkan kerugian finansial yang besar. Sutton menyebut istilah Total Cost of Assholes (TCA) untuk menggambarkan biaya nyata yang harus ditanggung perusahaan akibat perilaku ini. Beberapa perusahaan besar yang ia teliti bahkan mendapati bahwa satu orang toksik bisa menyebabkan kerugian hingga jutaan dolar per tahun.. Lebih parah lagi, Sutton mencatat bahwa pelaku perilaku ini justru sering duduk di kursi pimpinan, karena kekuasaan memberi mereka ruang untuk bertindak tanpa konsekuensi.
Mengapa ini bisa terjadi? Sutton mencatat bahwa banyak organisasi secara tidak sadar memberikan ruang bagi perilaku ini untuk berkembang. Pimpinan yang kasar sering kali dianggap "tegas", "berorientasi hasil", atau bahkan "visioner", sehingga perilaku negatifnya ditoleransi selama ia mampu menunjukkan kinerja yang dianggap baik. Akibatnya, nilai-nilai luhur yang dipajang di dinding kantor hanya menjadi slogan kosong, sementara perilaku sehari-hari berjalan ke arah yang bertolak belakang.
Yang membuatnya lebih rumit, di banyak organisasi, karyawan yang merasa tidak nyaman dengan perilaku kasar ini justru dilabeli negatif. Mereka disebut "bermental lembek", "tidak tahan tekanan", atau "kurang tahan banting". Narasi ini menambah beban psikologis bagi korban, karena mereka dipaksa memilih: menelan perlakuan tidak manusiawi demi dianggap profesional, atau melawan dan berisiko dicap tidak layak berada di dunia kerja yang "keras". Sutton menyoroti hal ini dengan tegas: budaya yang membiarkan kekasaran atas nama ketegasan justru menyiapkan organisasi menuju kehancuran jangka panjang.
Lalu, mengapa perilaku seperti ini begitu mudah tumbuh subur di puncak organisasi? Jawaban mendalam dijelaskan oleh Brian Klaas dalam bukunya Corruptible: Who Gets Power and How It Changes Us. Klaas membongkar fakta bahwa kekuasaan memiliki efek korosif: ia bukan hanya menarik orang-orang yang cenderung abusif, tapi juga mengubah orang baik menjadi pelaku penyimpangan nilai ketika mereka merasa tak tersentuh. Kekuasaan, dalam istilah Klaas, mematikan empati dan menciptakan ilusi bahwa aturan berlaku bagi bawahan, tapi tidak untuk pemimpin.
Dalam konteks Indonesia, hal ini sangat relevan. Budaya hierarkis yang kuat membuat bawahan memilih diam saat menghadapi perilaku pimpinan yang melanggar nilai. Kata-kata kasar, bentakan, atau penghinaan verbal seringkali dimaklumi sebagai "bumbu" dalam proses kerja, atau malah dibenarkan sebagai gaya kepemimpinan yang "tegas" dan "berorientasi hasil". Padahal, seperti diingatkan Sutton, efek jangka panjangnya sangat merusak: kepercayaan tim runtuh, semangat kerja menurun, dan turnover karyawan melonjak. Klaas bahkan menegaskan bahwa ketika pimpinan melanggar nilai, ia memberi sinyal kepada seluruh organisasi bahwa integritas itu fleksibel—dan inilah awal dari spiral ke bawah yang menghancurkan budaya kerja sehat.
Lalu, siapa yang harus memulai perubahan saat semua karyawan merasa takut untuk bicara? Jawabannya: perbaikan ini harus dimulai dari dewan pengarah, komisaris, atau pemilik organisasi. Tapi tantangannya adalah: bagaimana agar mereka tahu bahwa masalah ini benar-benar terjadi, sementara bawahan memilih diam?
Jawabannya terletak pada tiga hal:
-
Audit Budaya Secara Independen
Dewan pengawas perlu memerintahkan audit budaya yang melibatkan survei anonim, focus group discussion tanpa atasan langsung, dan pengukuran tingkat stres serta turnover karyawan. Sutton menegaskan, "The damage assholes cause always shows up in morale, turnover, and silent disengagement." Jika angka resign melonjak atau semangat kerja jeblok, itu sinyal awal adanya toksisitas pimpinan. -
Membangun Saluran Pelaporan Aman (Whistleblowing Channel)
Brian Klaas menyarankan pentingnya kanal pelaporan yang tidak langsung ke pimpinan operasional, tapi ke badan independen seperti komite etik atau dewan pengawas. Saluran ini harus benar-benar aman, anonim, dan dijaga dari risiko pembalasan. -
Mewajibkan Penilaian 360 Derajat untuk Pimpinan
Agar pimpinan tidak sekadar dinilai oleh atasan, tapi juga oleh bawahan dan rekan sejawat. Jika skor perilaku kepemimpinan mereka rendah sementara hasil bisnisnya tinggi, itu pertanda "pimpinan bintang tapi beracun" yang sering disorot Sutton.
Tanpa langkah-langkah ini, dewan pengarah dan pemilik organisasi akan terus dibutakan oleh laporan yang "baik-baik saja", padahal di lapangan karyawan sedang menderita. Sutton dan Klaas sepakat bahwa kekuasaan yang tanpa pengawasan adalah akar utama perilaku menyimpang pimpinan. Maka, perubahan harus dimulai dengan menciptakan mekanisme agar kebenaran di lapangan bisa naik ke meja pengambil keputusan tanpa distorsi dan tanpa risiko bagi pelapor.
Menghidupkan kembali nilai kesopanan dalam organisasi bukan sekadar soal menulis ulang slogan di dinding kantor. Ia menuntut keberanian dan sistem yang memastikan bahwa nilai luhur itu benar-benar hidup dalam perilaku pimpinan sehari-hari. Seperti kata Sutton, "The best organizations aren’t ones without jerks—they are the ones that don’t tolerate them." Dan seperti yang diingatkan Klaas, "Power doesn’t have to corrupt—but without checks, it almost always will."
Komentar
Posting Komentar