Ketika Dompet Bicara: AI dan Open Finance Mengguncang Peta Persaingan Industri Keuangan

Artikel ini merupakan hasil refleksi penulis setelah menghadiri The Asian Banker Summit yang diselenggarakan pada bulan Mei 2025 lalu di Jakarta. Dalam forum yang mempertemukan regulator, eksekutif perbankan, startup teknologi finansial, hingga akademisi dari seluruh Asia, diskusi mengenai “Open Finance and the Future of Data-Driven Banking” menjadi salah satu sesi yang menarik untuk disimak. Bukan hanya karena topiknya sedang hangat, tapi karena dampaknya yang begitu mendasar: masa depan industri keuangan akan ditentukan oleh siapa yang menguasai data dan tahu cara membacanya dengan cerdas.

Open finance, yang sering disalahartikan sekadar perluasan open banking, pada dasarnya adalah konsep radikal tentang keterbukaan data keuangan. Dengan persetujuan pelanggan, data yang selama ini terkunci di institusi keuangan dapat diakses dan dimanfaatkan oleh pihak ketiga, baik itu perusahaan teknologi, startup AI, bahkan platform ritel dan e-commerce. Dalam sistem ini, konsumen menjadi pusat, dan kontrol atas data pribadi beralih ke tangan mereka.

Namun yang membuat segalanya berubah secara drastis adalah masuknya kecerdasan buatan (AI) ke dalam sistem terbuka ini. Di tangan algoritma yang belajar cepat, data keuangan bukan lagi sekadar catatan transaksi, tetapi menjadi bahan bakar utama untuk membangun profil risiko, memprediksi perilaku, dan merancang produk keuangan yang sangat personal. Dalam salah satu sesi panelis menyoroti bagaimana data perilaku keuangan sehari-hari seperti riwayat transaksi digital, pola pengeluaran, dan aktivitas e-commerce semakin berperan dalam membentuk penilaian risiko kredit. Gagasan ini selaras dengan argumen dalam buku The Coming Wave (2023) karya Mustafa Suleyman dan James Manyika, yang menekankan bahwa sistem berbasis model prediktif dan data real-time akan menggantikan sistem lama yang terlalu bergantung pada catatan historis atau skor kredit statis. AI, dalam konteks ini, menjadi mesin penerjemah utama dari semua jejak digital ke dalam keputusan finansial yang cepat, personal, dan adaptif.

Apa yang dulu menjadi keunggulan institusi besar yakni kedekatan dengan data dan nasabah kini bisa diduplikasi dan bahkan dikalahkan oleh pemain yang lebih kecil tapi lebih gesit. Fintech yang baru berdiri bisa menyaingi bank besar karena mereka memiliki algoritma yang mampu menyusun penawaran pinjaman hanya dalam hitungan detik, berdasarkan kombinasi data rekening, pola belanja, lokasi, hingga perilaku digital pelanggan. Beberapa startup Indonesia yang dipresentasikan dalam forum tersebut bahkan telah mengembangkan model credit scoring berbasis data belanja harian, riwayat e-commerce, dan interaksi media sosial.

Fenomena ini tak bisa dilepaskan dari gagasan besar yang disampaikan dalam The Coming Wave: bahwa teknologi baru, terutama AI, sedang menciptakan apa yang disebut sebagai “desentralisasi kekuasaan”. Yaitu, kekuatan dan kendali dalam menciptakan layanan keuangan tidak lagi hanya berada di tangan lembaga besar seperti bank atau pemerintah, tapi kini bisa dimiliki oleh perusahaan-perusahaan kecil, bahkan individu, yang mampu memanfaatkan teknologi. Dulu, membuat layanan keuangan baru seperti sistem pinjaman digital butuh dana miliaran dan jaringan fisik yang luas. Sekarang, cukup punya akses ke data dan kemampuan membangun algoritma, maka layanan serupa bisa dibangun dari laptop di ruang kerja kecil. Modal utama bukan lagi uang besar, tapi kecerdasan dalam mengelola data.

Tentu saja, perubahan besar ini tak datang tanpa risiko. Ada muncul kekhawatiran atas ketidakseimbangan kekuasaan baru: dari bank ke perusahaan teknologi. Ketika data keuangan terkonsentrasi di segelintir platform digital, bagaimana nasib transparansi, etika, dan perlindungan konsumen? Bagaimana jika algoritma justru memperkuat bias struktural misalnya dengan menolak pinjaman bagi kelompok yang tidak memiliki jejak digital kuat, padahal mereka secara riil mampu membayar?

Shoshana Zuboff dalam The Age of Surveillance Capitalism mengingatkan bahwa ketika data menjadi sumber kekuatan baru, maka yang menguasai data akan menentukan masa depan interaksi manusia. Dalam konteks open finance, ini berarti bahwa sistem keuangan masa depan bisa menjadi sangat eksklusif bila tidak diawasi dengan bijak. Apalagi, penetrasi literasi digital dan literasi keuangan di Indonesia masih timpang antar wilayah dan kelas sosial.

Namun demikian, jika dikelola dengan tepat, open finance berbasis AI justru dapat membuka akses inklusi keuangan yang selama ini tertutup. Individu yang tidak memiliki riwayat kredit formal, seperti pelaku UMKM informal atau pekerja lepas, bisa memperoleh akses ke pinjaman atau layanan asuransi karena profil digital mereka terbaca sistem. Produk keuangan pun bisa menjadi lebih adil, karena disesuaikan dengan kondisi nyata pelanggan, bukan standar kasar seperti gaji atau kepemilikan rekening bank semata.

Dari sisi persaingan industri, ini menjadi tantangan sekaligus peluang. Bank dan lembaga keuangan tradisional yang terlalu nyaman dengan model bisnis lama akan tertinggal jika tidak segera bertransformasi. Di sisi lain, kolaborasi antara bank dan startup AI menjadi kunci utama. Kita akan melihat lebih banyak kemitraan strategis, co-development platform, dan konsolidasi layanan yang mengedepankan kecepatan, personalisasi, dan kepercayaan.

Indonesia sendiri sedang berada pada titik kritis. Bank Indonesia dan OJK telah membangun regulatory sandbox,sebuah mekanisme uji coba terbatas yang memungkinkan startup dan inovator teknologi keuangan mengembangkan produk baru dalam lingkungan yang aman, fleksibel, dan diawasi secara ketat oleh regulator. Tujuannya adalah menjaga keseimbangan antara inovasi dan perlindungan konsumen, sambil memberi ruang eksperimen bagi model bisnis baru yang belum sepenuhnya diatur oleh hukum yang ada. Beberapa perusahaan yang lolos uji sandbox ini bahkan sudah masuk ke sistem pembayaran nasional. Dengan adanya sandbox, regulator bisa menyesuaikan kebijakan secara dinamis berdasarkan realitas lapangan, bukan sekadar asumsi dari meja birokrasi.

Pertanyaannya kini bukan lagi perlu atau tidak membuka data keuangan, tetapi siapa yang paling siap memanfaatkannya secara cerdas dan etis. Karena di era ketika dompet kita bisa bicara, hanya mereka yang bisa mendengarkan dan menafsirkan dengan benar yang akan bertahan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketika Kontrol Internal Jadi "Tembok Besar": Mengapa Banyak Organisasi Tumbuh Lambat Karena Terlalu Sibuk Mengunci Pintu

Ketika Pengawasan Membunuh Inisiatif: Menelisik Kelambanan Keputusan dalam Organisasi Yayasan