Danantara, ESG, dan KPK: Menimbang Tata Kelola Investasi Indonesia dalam Sorotan Global

Peluncuran Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) pada Februari 2025 merupakan bagian dari langkah ambisius pemerintah Indonesia dalam merestrukturisasi tata kelola aset dan investasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Namun, di balik ambisi ini, timbul kontroversi tajam, terutama terkait pembatasan audit oleh lembaga pengawas independen seperti BPK dan KPK, serta keterlibatan langsung pejabat aktif KPK dalam struktur organisasi Danantara. Dalam konteks global, kasus ini memberikan ruang refleksi tentang bagaimana prinsip tata kelola berbasis Environmental, Social, and Governance (ESG) diterapkan secara nyata, dan bagaimana desain kelembagaan bisa memperkuat—atau melemahkan—akuntabilitas.

Konteks Lokal: KPK, Danantara, dan Pembatasan Pengawasan

Danantara dibentuk melalui revisi UU BUMN yang membuka jalan bagi pembentukan entitas pengelola aset BUMN secara lebih fleksibel. Namun, dalam proses ini muncul klausul kontroversial: Danantara tidak dapat diaudit secara langsung oleh KPK atau BPK, kecuali dengan permintaan khusus DPR. Ini berarti pengawasan reguler dari lembaga independen menjadi terbatas, dan publik kehilangan salah satu alat utama untuk memastikan integritas lembaga yang mengelola dana besar negara.

Masalah menjadi lebih kompleks saat terungkap bahwa seorang pejabat aktif dari KPK ikut duduk dalam struktur organisasi Danantara. Ini menimbulkan konflik kepentingan nyata dan menabrak prinsip arm’s length governance—yaitu prinsip bahwa lembaga pengawas harus berada dalam posisi independen dan tak berafiliasi secara langsung dengan entitas yang diawasinya.

Koordinator MAKI, Boyamin Saiman, menyatakan bahwa keterlibatan pejabat KPK dalam Danantara mencederai independensi lembaga anti-korupsi dan menciptakan kerancuan antara fungsi pengawasan dan eksekusi. Sementara itu, ICW mengingatkan bahwa tanpa pengawasan langsung, celah penyalahgunaan kekuasaan dalam pengelolaan investasi sangat terbuka lebar.

Prinsip ESG dan Relevansi Global

ESG telah menjadi standar emas dalam pengambilan keputusan investasi global. Menurut laporan PwC (2023), sebanyak 80% investor institusi menyatakan bahwa kriteria ESG berperan penting dalam proses investasi mereka. ESG bukan hanya tentang menjaga lingkungan atau tanggung jawab sosial, tetapi juga berkaitan erat dengan governance—yakni bagaimana entitas dikelola, diawasi, dan mempertanggungjawabkan aktivitasnya.

Buku terlaris seperti “Principles for Responsible Investment: ESG and Sustainable Value Creation” oleh Will Martindale menekankan pentingnya integritas kelembagaan sebagai inti dari investasi berkelanjutan. Martindale mengutip kasus-kasus dari Norwegia, Kanada, dan Singapura—di mana lembaga pengelola investasi negara seperti Norwegian Government Pension Fund dan Temasek Holdings menjunjung tinggi akuntabilitas publik, transparansi, dan menjauhkan pengaruh politik langsung dari operasi manajerial.

Dalam konteks Norwegia, misalnya, sovereign wealth fund diawasi ketat oleh parlemen dan tunduk pada audit tahunan oleh lembaga independen. Tidak ada ruang bagi anggota otoritas pengawas seperti lembaga anti-korupsi untuk duduk di posisi eksekutif dana investasi—karena justru akan melumpuhkan sistem pengawasan itu sendiri.

Kerangka Teoritis: Principal-Agent dan Institutional Design

Masalah yang dihadapi Danantara dapat dipahami lebih dalam melalui teori Principal-Agent dalam ilmu ekonomi kelembagaan. Dalam konteks ini, pemerintah (principal) menunjuk Danantara (agent) untuk mengelola aset publik. Namun tanpa pengawasan memadai (dari BPK atau KPK), agency problem—yakni perbedaan kepentingan antara agen dan prinsipal—akan meningkat. Agen bisa bertindak demi kepentingannya sendiri, bukan untuk kepentingan publik.

Teori lain yang relevan adalah Good Governance Theory yang menekankan pentingnya transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik. Tata kelola yang baik menuntut adanya lembaga check and balance yang independen dan tidak saling merangkap peran. Keterlibatan pejabat pengawas dalam eksekusi pelaksana melanggar prinsip ini dan berpotensi menurunkan kepercayaan publik dan investor.

Implikasi dan Rekomendasi

Dari perspektif ESG, praktik Danantara saat ini bisa dinilai lemah pada aspek governance. Di tengah gencarnya Indonesia mempromosikan investasi berkelanjutan, kelalaian dalam memastikan tata kelola yang transparan justru berisiko menggerus kepercayaan pasar.

Beberapa langkah yang perlu dipertimbangkan:

  1. Peninjauan ulang struktur organisasi Danantara, memastikan tidak ada pejabat aktif dari lembaga pengawas dalam jajaran eksekutifnya.

  2. Penguatan mekanisme audit independen secara berkala oleh BPK dan KPK, bukan hanya atas permintaan DPR.

  3. Transparansi publik atas laporan keuangan dan aktivitas investasi, yang dapat diakses oleh media, LSM, dan akademisi.

  4. Adopsi standar ESG global seperti UN Principles for Responsible Investment (PRI) dan GRI (Global Reporting Initiative) sebagai rujukan baku Danantara.

Penutup

Kisah Danantara mencerminkan dilema klasik dalam reformasi tata kelola publik: bagaimana mengelola dengan fleksibel namun tetap akuntabel. Di satu sisi, Indonesia ingin bergerak cepat dalam pengelolaan aset strategis; di sisi lain, kepercayaan publik dan integritas kelembagaan tak boleh dikorbankan. Prinsip ESG, jika diterapkan secara penuh dan konsisten, bukan hanya alat branding, tetapi kunci keberlanjutan yang sesungguhnya. Indonesia masih punya kesempatan memperbaiki desain kelembagaan Danantara agar tidak sekadar jadi proyek investasi, melainkan model tata kelola yang dihormati dunia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketika Kontrol Internal Jadi "Tembok Besar": Mengapa Banyak Organisasi Tumbuh Lambat Karena Terlalu Sibuk Mengunci Pintu

Ketika Pengawasan Membunuh Inisiatif: Menelisik Kelambanan Keputusan dalam Organisasi Yayasan

Ketika Nilai Kesopanan Hanya Jadi Slogan: Mengurai Fenomena Pimpinan Kasar di Organisasi